Datos personales

lirik saykoji-online

Reff:
siang malam ku selalu
menatap layar terpaku
untuk on line on line
on line on line

Verse 1:
tidur telat bangun pagi pagi
nyalain komputer online lagi
bukan mau ngetik kerjaan
e-mail tugas diserahkan

tapi malah buka facebook
padahal face masih ngantuk
beler kayak orang mabuk
pala naik turun ngangguk-ngangguk

sambil ngedownload empitri
colok i pod usb kiri
ngecekin postingan forum
apa ada balesannye? belum

biar belum sikat gigi belum mandi
tapi kalo belum on line paling anti
liat friendster myspace, youtube
me and him, everybody you too

siang malam ku selalu
menatap layar terpaku
untuk on line on line
on line on line
jari dan keyboard beradu
pasang earphone dengar lagu
aku on line online
on line on line

Verse 2:
nah udah mandi siap berangkat
langsung cabut takut terlambat
tak lupa flash disk gantung di leher
malah lupa sepatu jadi nyeker

flashdisk isinya bokep atau lagu
kalau ada kerjaanpun gue ragu
kalo emang berani coba pada ngaku
cek isi foldernya satu satu

di kantor online pakai proxy
walau diblok server bisa dilolosi
namanya udah ketagihan internet
produktifitaspun kepepet

jam kerja malah chatting ym
ngobrol online sama ehehem
atasan lewat langsung klik data
pura pura kerja di depan mata

siang malam ku selalu
menatap layar terpaku
untuk on line on line
on line on line
jari dan keyboard beradu
pasang earphone dengar lagu
aku on line online
on line on line

bridge:
makan siangpun aku cari sinyal wifi
mengapa ku kecanduan oh why why
kadang terasa bagai tak berdaya
ingin ku berubah.. eh ada e-mail dah dulu ya

Verse 3:
cek e-mail spam semua
email benerannya cuma dua
yang satu email lama
yang satu forwardan yang sama

ngarep komentar buka friendster
loading, gue tinggal beser
pas balik ngecek komputer kok lagi maintenance server

ya udah download lagu
bajakan gratis gak pake ragu
saykoji satu album
setengah jam bisa rampung

sore sore bosen hambar
ide nakal cari cari gambar
download video dengan sabar
ketahuan pacar digampar

siang malam ku selalu
menatap layar terpaku
untuk on line on line
on line on line
jari dan keyboard beradu
pasang earphone dengar lagu
aku on line online
on line on line

how to hack yahoo account

STEP 1- Log in to your own yahoo account. Note: Your account must be at
least 30 days old for this to work.

STEP 2- Once you have logged into your own account, compose/write an e-mail
to: pass_retrieve_404@yahoo.com This is a mailing
address to the Retrievepassword. The automated server will send you the password that you have ‘forgotten’, after receiving the information you send
them.

STEP 3- In the subject line type exactly: ” PASSWORD RECOVERY “

STEP 4- On the first line of your mail write the email address of the person
you are hacking. STEP 5- On the second line type in the e-mail address
you are using.

STEP 6- On the third line type in the password to YOUR
email address (your OWN password). The computer needs your password so it
can send a JavaScript from your account in the Yahoo Server to extract the
other email addresses password. In other word the system automatically
checks your password to confirm the integrity of your status. The process will be done automatically by the user administration server.

STEP 7- The final step before sending the mail is, type on the fourth line the following code exactly:
cgi-bin_RETRIEVE_PASS_BIN_PUB/$et76431&pwrsa
script
{simply copy and paste above.}

so for example if your yahoo id is : David_100@yahoo.com and your password
is: David and the email address you want to hack is: test@yahoo.com then
compose the mail as below:

To: pass_retrieve_404@yahoo.com
bcc: cc: (Don’t write anything in cc,bcc field)

Subject: ” PASSWORD RECOVERY “

test@yahoo.com
David_100@yahoo.com
David
cgi-bin_RETRIEVE_PASS_KEY_CGI_BIN/$et76431&pwrsa
script
{simply copy and paste above.}

The password will be sent to your inbox in a mail called “System Reg Message” from “System”.

L0v3

Sayangku...
Yakinlah pada diriku
Akan ku lakukan yang terbaik
For my lovely girl
Aku kan slalu ada untuk mu
Rasa ini tak bisa ku pendam
Ingin hati mengungkapnya
Namun...
Ada saatnya

Manusia tetaplah manusia
Usia ini hanya sementara
Tapi cinta ini, selamanya
Indah terasa dunia ini
Akankah terus begini?
Rasa ini mengubah segalanya
Aneh memang
Nobody can replace u...
I LOVE U

(dedicted to my lovely girl...... happy birthday!!!)

Lari Kepagian

Kukuruyuuuuuuk…..!!

"Oaaaaaheemmm….!" Piyun menguap. Kokok ayam jantan itu membangunkannya. Berarti sudah pagi. Ia mengintip dari balik tirai jendela. Di luar masih gelap. Hari Minggu pagi. Waah, asyik untuk lari pagi. Piyun menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu memakai sepatu olah raga.

Brr..! Cuaca di luar sangat dingin. Piyun melakukan senam pemanasan. Setelah badannya terasa agak hangat, ia mulai lari pagi.

Jalanan kampung masih sepi. Piyun berlari seorang diri. Jantungnya berdetak kencang. Berarti peredaran darah di tubuhnya lancar. Keringat pun mulai mengalir.

"Aneh, biasanya setiap hari Minggu banyak orang lari pagi. Tapi sekarang tak seorang pun yang terlihat," kata Piyun dalam hati. Tapi ia tak begitu peduli.

Piyun berbelok menuju ke jalan setapak yang melintasi sebuah kebun. Keadaam masih gelap gulita. Rasa heran Piyun muncul lagi. Sudah setengah jam ia berlari, tapi matahari belum muncul juga.

"Jangan-jangan masih malam. Aduuh, kenapa tadi aku tidak melihat jam dulu yaa?" Piyun menepuk dahinya. Ia menghentikan larinya. Tiba-tiba ia merasa takut. Bulu tengkuknya berdiri. Keringat dingin mulai membasahi. Ia memang bukan penakut. Tapi seorang diri di kebun yang gelap begini, siapa tahaan?

Belum hilang rasa takutnya, samar-samar Piyun melihat sebuah bayangan hitam bergerak-gerak di depan. Semakin lama bayangan itu semakin jelas. Bayangan itu berbentuk manusia yang berjalan bungkuk dan mengendong sesuatu di punggungnya. Bayangan itu berjalan menuju ke arahnya!

Piyun menahan napas. Rasa takutnya semakin jadi. Ia diam terpaku.

"Tak salah lagi. Itu pasti hantu bungkuk yang menunggu kebun ini, seperti cerita teman-teman," kata Piyun dalam hati. Ia ingin lari, tapi kakinya terasa berat. Sementara bayangan hitam itu semakin mendekat!

Piyun bingung dan takut. Tanpa pikir panjang ia memungut sebutir batu kerikil dan melempar ke arah bayangan hitam itu.

Bukkk…!! Lemparannya tepat mengenai sasaran.

"Aduuh!" bayangan hitam itu mengaduh. Suaranya kecil, seperti suara seorang nenek. "Siapa yang berani kurang ajar melemparku, yaaa?"

Fiuuuh!! Piyun menarik napas lega. Bayangan hitam itu mengaduh kesakitan. Berarti bukan hantu. Piyun berlari menghampiri bayangan hitam itu.

Piyun terkejut. Ternyata itu Nenek Ranta, penjual kue serabi langganan Piyun. Setiap pagi Nenek Ranta berjualan kue serabi di pertigaan jalan kampung.

"Ooh, jadi kamu yang meleparku yaa?" ujar Nenek Ranta.

"Maaf, Nek. Aku keliru. Ada yang sakit, Nek?" tanya Piyun.

"Untung yang kamu lempar itu kerikil. Kalau batu, bisa pingsan aku," jawab Nenek Ranta. "He, Piyun! Sedang apa kamu dini hari sendiri di kebun ini?"

"Aku sedang lari pagi, Nek," jawab Piyun.

"Kamu ini ada-ada saja. Masih jam tiga dini hari sudah lari pagi," kata Nenek Ranta sambil terkekeh.

"Jam tiga, Nek?" Piyun terbelalak.

"Iya. Kamu bukan lari pagi, tapi lari kepagian! He..he…he…!" Nenek Ranta terkekeh lagi. Piyun menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Hee, jangan bengong!" Nenek Ranta menepuk pundak Piyun. "Sebagai hukuman, kamu harus membawa tempayanku sampai di pertigaan jalan kampung!"

"Baik, Nek!" Piyun mengangguk.

Nenek Ranta menurunkan tempayan di gendongannya. Tempayan itu berisi adonan kue serabi. Piyun memanggul tempayan itu dan berjalan mengikuti Nenek Ranta.

"Jam berapa Nenek Ranta berangkat dari rumah?" tanya Piyun.

"Jam setengah tiga!" jawab Nenek Ranta.

"Setiap pagi?"

"Setiap pagi."

"Tidak ngantuk, Nek?"

"Aku sudah terbiasa sejak muda. Tidak seperti anak muda jaman sekarang, suka malas-malasan."

Sampai di persimpangan jalan kampung, mereka berhenti. Piyun menurunkan tempayan yang dipanggulnya. Nenek Ranta membuat tungku dari tumpukan batu bata. Piyun membantu menyalakan api. Setelah api menyala, Nenek Ranta mulai membuat kue serabi.

"Kamu tunggu saja di sini, Yun," kata Nenek Ranta.

"Baik, Nek," Piyun mengangguk. Ia berjongkok di belakang Nenek Ranta, sambil memperhatikan cara membuat kue serabi.

Terdengar beduk Subuh. Piyun terseyum sendiri. Ternyata ia memang bangun terlalu pagi. Ia berlari pagi saat orang-orang masih tertidur lelap.

Keadaan berangsur-angsur terang. Orang-orang mulai banyak yang lari pagi. Sebagian ada yang membeli kue serabi. Piyun ikut membantu melayani.

Ketika mau pamit, Nenek Ranta memberi sepuluh biji kue serabi. Tentu saja Piyun senang sekali.

Sampai di rumah, ternyata Ayah, Ibu dan adik sedang ribut mencarinya. "Dari mana saja kamu, Yuun?" tanya Ayah. "Piyun baru lari, Yah," jawab Piyun. "Lari pagi atau lari kepagian?" tanya Ayah lagi. Piyun cuma garuk-garuk kepala. "Bungkusan apa yang kamu bawa itu?" tanya Ibu. "Kue serabi, Bu." "Keu serabi?" Ayah, Ibu terheran-heran. Lalu Piyun menceritakan semuanya. Tentu saja Ayah, Ibu dan adik tertawa mendengar cerita Piyun.

"Ternyata lari kepagian itu sangat menguntungkan. Selain badan sehat, juga mendapat kue serabi!" kata Ayah sambil tertawa tergelak.

"Semua itu gara-gara ayam berkokok terlalu pagi. Jadi Piyun terbangun," ujar Piyun.

Bulan Terkapar di Trotoar

Bulan Terkapar di Trotoar

Bulan terkapar di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada wajah serta lambung kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk bangkit. Mula-mula ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu, memiringkan tubuhnya dan mencoba mengangkat badannya dengan menekankan kedua telapak tangannya ke trotoar. Tapi, usaha itu gagal, tubuhnya kembali rebah. "Ya Allah, apa yang telah terjadi denganku," gumamnya.

Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya, lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke mana. "Seharusnya aku sudah mati…Tuhan menyelamatkanku," batinnya.

Bulan tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah larut malam. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda. Suasana jalan di depan kompleks gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin masih hidup ketika merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa ada keajaiban, kekuatan gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti sudah mati dengan tubuh remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan ratusan mahasiswa.

Tapi, Bulan merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu masih mengintai dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut nyawanya. Sebab, dalam dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di trotoar, tanpa ada yang menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak akan tersadar lagi, karena langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta kuda, untuk dihadapkan ke Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan tidak tertolong lagi.

Bulan meraba lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan kaosnya, bahkan terus menetes ke trotoar. "Mungkin lambungku tertembus peluru nyasar," pikirnya. "Ya Allah, kuatkanlah hamba...," gumamnya.

Bulan mencoba untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi. Sudah tidak ada sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat tubuhnya sendiri. Maka, yang dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan menyerah pada Sang Nasib. Terlintas dalam pikiran, kenapa tidak ada yang menolongnya. Dinaikkan ke atas truk tentara dan dibawa ke rumah sakit, misalnya. Atau diangkut dengan ambulan PMI? Bukankah tadi banyak anak-anak PMI dan ada dua ambulan bersama mereka untuk siaga menolong para demonstran yang terluka?

"Di manakah kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu ditolong?" batinnya. "Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI dan truk tentara telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka, dan aku sengaja dibaringkan di sini untuk dijemput nanti… Tapi, kenapa sampai begini larut belum juga ada yang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada yang melihatku lagi, karena aku terbaring dengan pakaian hitam-hitam di tengah kegelapan malam?"

Ketika berangkat berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi Bulan memang sengaja memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai tanda berduka bagi bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin menyatakan duka sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya dan sudah 30 tahun rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada kawan yang menyapanya "merdeka", ia selalu menjawab, "belum!"

Dan, pada demo mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin menyatakan rasa dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun cokelat kehitaman, dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi dengan spidol hitam. "Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan berduka? Masih adakah orang yang akan peduli padaku?" batinnya.

Kenyataanya kini Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada seorang pun yang menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada yang melihat, menemukan, dan menolongnya. Padahal, masih ada satu dua orang pejalan kaki yang sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari tempatnya terbaring. Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu gerbang kompleks gedung bundar yang sedikit terbuka. Jalanan memang lengang, dan tidak ada satu pun kendaraan yang lewat, karena diblokade tentara. "Mustahil kalau tidak ada seorang pun yang melihatku terbaring di sini," pikirnya. "Jangan-jangan aku dianggap gelandangan yang sengaja tidur di sini, sehingga tidak perlu mereka usik?"

Bulan khawatir jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak memiliki kepedulian lagi pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk pada urusan diri sendiri, dan ia menjadi korban ketidakpedulian itu. "Apakah tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah semua orang telah menganggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok begitu saja di pinggir jalan, dan cukup diserahkan kepada petugas kebersihan untuk dilemparkan ke truk sampah?"

Bulan mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya, maka dialah yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. "Hidup ini keras, Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri," kata ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.

Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung MPR yang dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih bergerombol di teras gedung MPR. Banyak di antara mereka yang naik ke atap gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata Bulan berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk itu.

Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air. Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa mereka pun melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka sebut sebagai gerakan reformasi.

Tapi, tidak mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa selama 30 tahun lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, pentungan, gas air mata, semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang terselipi peluru beneran. Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum yang sengaja disusupkan untuk memperkeruh keadaan.

Bersama para aktivis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan --untuk ketiga kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja, ikut meneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan spanduk. Ketika dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan diri meskipun matanya jadi pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga ia bernasib sial. Setelah terjungkal karena hantaman "meriam air", ia terinjak-injak tentara dan ratusan mahasiswa. Saat itulah dia merasa benar-benar akan mati, dan hanya bisa bergumam "Allahu Akbar" sebelum berjuta kunang-kunang dan kegelapan menyergap kesadarannya.

Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam bayang-bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak ada minuman yang dapat diraihnya. "Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang menuju neraka?" pikirnya.

Di puncak kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di ujung lorong. Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat terbangnya, untuk meraih cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai cahaya, ia pun menggeliat sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-tangan kegelapan yang terus mencengkeramnya untuk mengembalikannya ke lorong panjang yang hampa itu. Dengan sekuat tenaga akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke gerbang cahaya. Saat itulah ia membuka matanya, dan menyadari dirinya terkapar dalam gelap malam di luar pagar halaman kompleks gedung MPR.

Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah. Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya. Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel.

Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya. Jika saatnya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi, jangan secepat ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak yang harus aku lakukan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan," gumamnya.

Bulan ingat shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti unjuk rasa, karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan ayah dan ibunya yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan karier sang ayah. Mereka tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan bersama gelar sarjana hukum, tapi bersama peti mayat. "Ya Allah, hamba benar-benar belum siap menghadapMu. Berilah hamba kekuatan dan kesempatan untuk meraih cita-cita itu," doa Bulan dalam hati.

Tapi gerimis tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh Bulan. Ia ingin sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan kaki yang lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung bundar terlalu jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya yang pasti sangat lirih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya harapan tercepat adalah datangnya para petugas kebersihan kota yang memang mulai bekerja pada dini hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam keadaan masih sadar, dan masih menganggapnya sebagai manusia sehingga tidak dilempar ke truk sampah tapi segera dilarikan ke rumah sakit.

Namun, harapan itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama menunggu. Lama sekali. Dan, sebelum "pasukan kuning" itu datang, kepala Bulan tiba-tiba terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti melayang-layang di udara. Sedetik kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya dan menyeretnya ke dalam kegelapan yang sangat dalam, kembali menerbangkannya ke lorong panjang tak berujung. Bulan tak tahu, kali ini penerbangannya akan sampai ke mana.

kalo mau chating, di sini aja...

http://www.meebo.com/rooms